Senin, 24 Februari 2014



Ustad dan Guru

Ketika kecil dulu, saya belajar ngaji pada seorang guru ngaji, tetangga di belakang rumah saya. Kami semua murid-muridnya memanggil beliau Teh Annah (panggilan kakak). Beliau tidak mau dipanggil ustadzah, tentu saja. Padahal, beliau seorang guru ngaji yang ilmunya tidak bisa dipandang remeh. Teh Annah, selain belajar ngaji, juga seorang guru di salah satu sekolah di kampung saya. Bukan hanya ilmu yang mumpuni, beliau juga mempunyai perilaku yang sangat santun, sehingga jadi panutan bagi kami semua.

Masih ingat melekat dibenak saya, kalau mau ngaji, kami bergiliran membawa minyak tanah satu canting (kurang lebih 100cc). minyak tanah itu digunakan untuk mengisi lampu templok (semacam lampu kecil yang dikaitkan ke dinding rumah) di rumahnya yang kami pakai sebagai penerangan ketika kami belajar ngaji. Itulah bayaran kami untuk Teh Annah. Tidak bisa disebut bayaran sebenarnya,  karena minyak tanah itu digunakan oleh kami juga untuk belajar mengaji.

Jadi, ketika sekarang, banyak pemberitahuan di media massa mengenai bagaimana seorang ustad mengumpulkan uang dari umatnya, bagaimana kehidupan seorang ustad yang bak selebriti., saya sempat merasa getir.  Belum lama berselang ada pemberitaan mengenai uang yang berputar di sekitar seorang ustad, ada lagi berita mengenai istri ustad lain yang memamerkan koleksi jilbabnya. Eh, tak lama berselang ada lagi berita mengenai perilaku seorang ustad yang tidak patut dicontoh. Semua berita itu membuat saya tertegun-tegun. 

Dalam bayangan saya, seorang ustad akan mempunyai pribadi yang sederhana, jauh dari kemewahan yang dipamerkan, berperilaku santun, tidak mata duitan. Pandangan yang kolot? Mungkin. Tapi itulah bayangan yang menyertai saya kalau kata “ustad” disebut. Sama ketika kata “guru” disebut. Dalam bayangan saya, guru adalah seorang yang patut digugu dan ditiru. Seorang guru merupakan sosok yang dalam segala perilakunya mencerminkan semua hal yang dapat dicontoh oleh murid-muridnya.

Dalam salah satu acara yang bertajuk ‘motivasi untuk guru’, seorang motivator mengatakan hal yang tidak akan pernah saya lupakan. Motivator itu berkata “guru memang manusia….tetapi mereka bukan manusia biasa”.  Alangkah tinggi harapan untuk seorang guru, sama dengan tingginya harapan untuk seorang ustad.

Ketika kita menerima sebuah “titel’, otomatis titel itu melekat dengan diri kita, itulah konsekuensi yang harus kita terima. Kita belajar untuk menjadi sesuai dengan titel yang kita kenakan. 
(Dian Apendiani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer