Sabtu, 12 April 2014



UAN, Mengukur Apa?

UAN Bukan Hanya Mengukur Kemampuan Kognitif

Ujian Nasional untuk tingkat sekolah menengah atas, hari senin-rabu ini dilaksanakan di tengah hiruk pikuk pemilu legislatif. Maka, tidak mengherankan, helatan nasional yang biasanya seminggu sebelumnya sudah ramai dibicarakan media ini, seolah tenggelam dalam berita-berita hasil pemilu dan seluk beluk peristiwa yang terjadi selama pelaksanaan pemilu. 

Ini tidak lantas menjadikan helatan nasional yang memakan biaya sekitar 545 Miliar rupiah itu menjadi kecil, terutama bagi siswa, orang tua, dan dunia pendidikan umumnya.  Perihal UAN ini merupakan perkara yang sesungguhnya telah cukup memeras keringat siswa, orang tua, dan semua yang terkait dalam pelaksanaannya. Maka, mari kita lihat apakah tujuan UAN ini sudah dapat mencerminkan mutu pendidikan di Indonesia.

Ujian  Akhir Nasional (UAN)  adalah sistem evaluasi standar pendidikan secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penilaian pendiidikan Depdiknas di Indonesia. UU RI no 20 thn 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Tujuan diselenggarakannya UAN, diantaranya adalah (a) mengevaluasi mutu pendidikan nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaran pendidikan; (b) mengevaluasi peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang dan jenis pendidikan. (UU No.20 Tahun 2003). UAN juga bertujuan untuk mengevaluasi hasil pendidikan dalam ranah kognitif pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. (PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 66).

Jadi, kalau kita cermati, Ujian Nasional bukan hanya menguji siswa, seperti yang dipahami banyak orang.  Ujian Nasional juga pada dasarnya menguji semua penyelenggara pendidikan. Maka, tingkat keberhasilan/kelulusan siswa sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan penyelenggara pendidikan. Penyelenggara pendidikan dalam hal ini, bukan hanya sekolah yang terkait, tetapi juga pemerintah daerah sampai pusat. Alhasil, tingkat kelulusan siswa menjadi sangat penting dalam mendongkrak ‘wibawa’ penyelenggara pendidikan. Betulkah Ujian Nasional (UAN)  dapat  mencerminkan mutu pendidikan secara nasional?

Sebenarnya, UAN bukan satu-satunya cara untuk mengukur mutu  pendidikan secara nasional. Beberapa organisasi dunia juga secara berkala mengukur mutu pendidikan di berbagai negara dalam skala internasional. Beberapa organisasi itu adalah: 

(1) Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengukur mutu pendidikan di suatu negara melalui Programme for International Students Assessment (PISA) yang mengukur tiga kemampuan pokok, yaitu membaca, matematika, dan sains. Hasil PISA dalam empat tes terakhir  secara konsisten menunjukkan, mutu pendidikan di Indonesia masih di bawah rata-rata OECD.
 
(2) Pengukuran lain adalah Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Progress in International Reading and Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan oleh International Study Center-Boston College USA. Sama dengan PISA, TIMSS dan PIRLS juga menguji kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hasil uji tahun 2011 menunjukkan, Indonesia juga masih di bawah rata-rata dunia.

Menanggapi hasil pengukuran tersebut, Menteri Pendidikan mengatakan bahwa hasil tersebut membuat semakin pentingnya dilaksanakan kurikulum 2013 sebagai perbaikan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan paradigma dan pendekatan dalam Kurikulum 2013 diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional. Beberapa kalangan pemerhati pendidikan mengharapkan bahwa dengan berlakunya Kurikulum 2013, juga akan mengubah sistem evaluasi. UAN yang selama ini mengevaluasi siswa dalam ranah kognitif saja, diharapkan berubah menjadi evaluasi yang menyeluruh dan dapat mencerminkan mutu pendidikan nasional yang sesungguhnya.

Kita tidak bisa menutup mata dan telinga bahwa setiap dilaksanakannya UAN, selalu santer berita mengenai kunci jawaban yang menyebar diantara siswa. Hal ini, tentu saja mencederai tujuan dilaksanakannya ujian, mencederai nilai luhur tujuan pendidikan nasional, dan mencederai dunia pendidikan pada umumnya. Maka, sesungguhnya UAN bukan hanya mengukur ranah kognitif saja, UAN juga mengukur ranah afektif, dan sejauh mana keberhasilan pendidikan karakter.


Inspirasi

Kalau tahu senikmat ini membuat sebuah goresan pena, pasti sudah saya lakukan sejak dulu. Kini, membuat sebuah tulisan, mencurahkan buah pikir dan perasaan, sudah merupakan kebutuhan. Kapan pun, dimana pun,  ketika buah pikir itu muncul, ada desakan yang tak terhingga untuk mencurahkannya lewat tulisan. Kalau momen itu lewat, biasanya di lain waktu sudah tidak  selera lagi buat nulis.

Kadang saat  berolah raga pagi, berjalan menyusuri jalan-jalan di sepanjang jalan Ahmad Yani, ide itu muncul. Biasanya ide itu datang begitu saja, kala saya hanyut ke dalam suasana pagi dengan berbagai kesibukannya. 

Kadang, ketika menunggu siswa saya mengerjakan tugas, melihat wajah-wajah mereka, menerbitkan keinginan untuk membuat puisi. Atau ketika saya datang terlalu pagi ke sekolah untuk mengajar, suasana lengang saat menatap dan menunggu siswa saya datang, itu pun menimbulkan keinginan untuk menulis.

Contoh lain, suatu pagi, saya makan berdua saja dengan suami, di sebuah rumah makan yang menyajikan pemandangan indah. Saat itu, suami bercerita tentang keindahan alam yang dapat kami nikmati. Tiba-tiba, saya begitu ingin menulis, maka lahirlah sebuah puisi dadakan berjudul ‘Dari Bukit Geligi’.

Inspirasi, dapat datang kapan saja, tinggal tergantung kemauan kita menuangkannya. Mereka menunggu untuk dilahirkan.

Kamis, 06 Maret 2014

Golongan Darah

Bukan tidak ada alasan, ketika kita mengisi bio data, ada pertanyaan mengenai golongan darah. Informasi mengenai golongan darah biasanya harus kita isi pada bio data sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan. Alasannya, paling tidak kalau terjadi kecelakaan (mudah-mudahan tidak terjadi kan!), pihak sekolah  (atau institusi manapun), mengetahui golongan darah kita dan bisa melakukan pertolongan dengan cepat.

Tapi lain halnya dengan anak saya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, masalah golongan darah rupanya merupakan masalah yang cukup membuat galau. Sudah berbulan-bulan yang lalu, dia bertanya mengenai golongan darahnya. Karena saya belum punya waktu (atau malas) untuk memeriksakan golongan darahnya ke puskesmas, tentu saja saya jawab bahwa kemungkinan golongan darahnya B, sama seperti abang-abangnya. Tapi karena belum pernah diperiksa, rupanya anak saya meragukan jawaban yang saya berikan.

Kegalauannya terus berlanjut. Selidik punya selidik, sumber kegalauannya adalah ketakutannya mempunyai golongan darah yang berbeda dengan abang-abangnya dan takut disebut anak pungut.

Saya, sebagai orang tua yang mengaku sibuk, rupanya tidak terlalu memikirkan kegalauannya tersebut. Malahan, kami sering menggoda ketakutannya sebagai anak yang tertukar. Tadinya hanya bercanda saja, tapi rupanya sikap itu bukanlah sikap yang bijaksana sebagai orang tua. Karena menganggap remeh masalah golongan darahnya. Alhasil kegalauannya bertambah-tambah. Makin seringlah anak saya meminta untuk diperiksa golongan darahnya.

Akhirnya kesadaran sebagai orang tua melihat sikap galau anaknya membuat saya membawa anak saya ke poliklinik untuk memeriksa golongan darahnya. Sebelum berangkat ke poliklinik, kegundahan anak saya meningkat. Ini membuat saya tersenyum simpul, karena tentu saja saya yakin dia anak kandung saya(wong saya yang melahirkannya).

Hasil pemeriksaan golongan darah anak saya ternyata bukan golongan B, tapi golongan darahnya O. Tapi, anak saya tetap tersenyum ceria karena tahu bahwa golongan darah bapaknya B, tapi golongan darah mamanya O.


Mungkin kita harus mulai melihat segala sesuatu bukan dari pandangan kita, tapi melihatnya dari pandangan anak kita. Kadang, kita sebagai orang tua, terlalu meremehkan hal-hal yang oleh anak kita dianggap sebagai masalah yang besar.

Senin, 24 Februari 2014



Ustad dan Guru

Ketika kecil dulu, saya belajar ngaji pada seorang guru ngaji, tetangga di belakang rumah saya. Kami semua murid-muridnya memanggil beliau Teh Annah (panggilan kakak). Beliau tidak mau dipanggil ustadzah, tentu saja. Padahal, beliau seorang guru ngaji yang ilmunya tidak bisa dipandang remeh. Teh Annah, selain belajar ngaji, juga seorang guru di salah satu sekolah di kampung saya. Bukan hanya ilmu yang mumpuni, beliau juga mempunyai perilaku yang sangat santun, sehingga jadi panutan bagi kami semua.

Masih ingat melekat dibenak saya, kalau mau ngaji, kami bergiliran membawa minyak tanah satu canting (kurang lebih 100cc). minyak tanah itu digunakan untuk mengisi lampu templok (semacam lampu kecil yang dikaitkan ke dinding rumah) di rumahnya yang kami pakai sebagai penerangan ketika kami belajar ngaji. Itulah bayaran kami untuk Teh Annah. Tidak bisa disebut bayaran sebenarnya,  karena minyak tanah itu digunakan oleh kami juga untuk belajar mengaji.

Jadi, ketika sekarang, banyak pemberitahuan di media massa mengenai bagaimana seorang ustad mengumpulkan uang dari umatnya, bagaimana kehidupan seorang ustad yang bak selebriti., saya sempat merasa getir.  Belum lama berselang ada pemberitaan mengenai uang yang berputar di sekitar seorang ustad, ada lagi berita mengenai istri ustad lain yang memamerkan koleksi jilbabnya. Eh, tak lama berselang ada lagi berita mengenai perilaku seorang ustad yang tidak patut dicontoh. Semua berita itu membuat saya tertegun-tegun. 

Dalam bayangan saya, seorang ustad akan mempunyai pribadi yang sederhana, jauh dari kemewahan yang dipamerkan, berperilaku santun, tidak mata duitan. Pandangan yang kolot? Mungkin. Tapi itulah bayangan yang menyertai saya kalau kata “ustad” disebut. Sama ketika kata “guru” disebut. Dalam bayangan saya, guru adalah seorang yang patut digugu dan ditiru. Seorang guru merupakan sosok yang dalam segala perilakunya mencerminkan semua hal yang dapat dicontoh oleh murid-muridnya.

Dalam salah satu acara yang bertajuk ‘motivasi untuk guru’, seorang motivator mengatakan hal yang tidak akan pernah saya lupakan. Motivator itu berkata “guru memang manusia….tetapi mereka bukan manusia biasa”.  Alangkah tinggi harapan untuk seorang guru, sama dengan tingginya harapan untuk seorang ustad.

Ketika kita menerima sebuah “titel’, otomatis titel itu melekat dengan diri kita, itulah konsekuensi yang harus kita terima. Kita belajar untuk menjadi sesuai dengan titel yang kita kenakan. 
(Dian Apendiani)

Entri Populer