Ustad dan Guru
Ketika kecil dulu, saya belajar
ngaji pada seorang guru ngaji, tetangga di belakang rumah saya. Kami semua
murid-muridnya memanggil beliau Teh Annah (panggilan kakak). Beliau tidak mau
dipanggil ustadzah, tentu saja. Padahal, beliau seorang guru ngaji yang ilmunya
tidak bisa dipandang remeh. Teh Annah, selain belajar ngaji, juga seorang guru
di salah satu sekolah di kampung saya. Bukan hanya ilmu yang mumpuni, beliau
juga mempunyai perilaku yang sangat santun, sehingga jadi panutan bagi kami
semua.
Masih ingat melekat dibenak saya,
kalau mau ngaji, kami bergiliran membawa minyak tanah satu canting (kurang lebih
100cc). minyak tanah itu digunakan untuk mengisi lampu templok (semacam lampu
kecil yang dikaitkan ke dinding rumah) di rumahnya yang kami pakai sebagai
penerangan ketika kami belajar ngaji. Itulah bayaran kami untuk Teh Annah.
Tidak bisa disebut bayaran sebenarnya,
karena minyak tanah itu digunakan oleh kami juga untuk belajar mengaji.
Jadi, ketika sekarang, banyak pemberitahuan di
media massa mengenai bagaimana seorang ustad mengumpulkan uang dari umatnya,
bagaimana kehidupan seorang ustad yang bak selebriti., saya sempat merasa
getir. Belum lama berselang ada pemberitaan
mengenai uang yang berputar di sekitar seorang ustad, ada lagi berita mengenai
istri ustad lain yang memamerkan koleksi jilbabnya. Eh, tak lama berselang ada
lagi berita mengenai perilaku seorang ustad yang tidak patut dicontoh. Semua
berita itu membuat saya tertegun-tegun.
Dalam bayangan saya, seorang
ustad akan mempunyai pribadi yang sederhana, jauh dari kemewahan yang
dipamerkan, berperilaku santun, tidak mata duitan. Pandangan yang kolot?
Mungkin. Tapi itulah bayangan yang menyertai saya kalau kata “ustad” disebut.
Sama ketika kata “guru” disebut. Dalam bayangan saya, guru adalah seorang yang
patut digugu dan ditiru. Seorang guru merupakan sosok yang dalam segala
perilakunya mencerminkan semua hal yang dapat dicontoh oleh murid-muridnya.
Dalam salah satu acara yang
bertajuk ‘motivasi untuk guru’, seorang motivator mengatakan hal yang tidak
akan pernah saya lupakan. Motivator itu berkata “guru memang manusia….tetapi
mereka bukan manusia biasa”. Alangkah
tinggi harapan untuk seorang guru, sama dengan tingginya harapan untuk seorang
ustad.
Ketika kita menerima sebuah
“titel’, otomatis titel itu melekat dengan diri kita, itulah konsekuensi yang
harus kita terima. Kita belajar untuk menjadi sesuai dengan titel yang kita
kenakan.
(Dian Apendiani)